Kamis, 03 November 2011

Di balik 168 anak tangga

Filled under:

          Kota Singkawang, yang terletak di propinsi kalimantan barat memang menyimpan banyak tempat-tempat wisata, dari wisata kuliner sampai dengan wisata religi yang eksotis. Di kota ini terdapat berbagai julukan seperti; kota Tasbih, kota Amoy, kota pariwisata, juga terkenal dengan julukan kota seribu vihara/kelenteng. Julukan kota seribu kelenteng ini bisa dilihat dari begitu banyaknya kelenteng-kelenteng yang terdapat di setiap sudut-sudut kota sampai pedesaan, dan juga terdapat di rumah-rumah penduduk. Kota singkawang, yang merupakan daerah otonomi, dalam bahasa hakka ( tionghoa ) juga di kenal dengan nama San Kheu Jong ( 三口洋 ) yang artinya terletak diantara bukit dan sungai. Kota ini merupakan kota yang sedang berkembang, dan dari usianya yang masih begitu muda, terdapat berbagai macam potensi-potensi yang dapat di gali, baik dari sektor pertanian, perkebunan, industri maupun pariwisatanya.

          Yups, ini adalah journal yang aku lakukan akhir pekan ini. Kota singkawang yang penduduknya terdiri dari berbagai macam suku dengan mayoritasnya suku tionghoa, saling berbaur dan hidup dalam keharmonisan. Mereka hidup penuh dengan rasa toleransi, ini dibuktikan dengan tempat ibadah mesjid, gereja, dan kelenteng yang jaraknya berdekatan satu sama lain, serta berbagai macam nuansa perpaduan budaya diantaranya.
          Pagi itu, di hari minggu, dalam cuaca adem dan angin yang bertiup sepoi-sepoi, aku menyempatkan diri untuk melintasi perumahan di sekitar jalan Kaliasin, letaknya di Singkawang selatan, tepatnya di kaliasin dalam. Cuaca pagi yang segar ini, benar-benar cocok untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Di jalanan terlihat banyak orang berlalu lalang. Ada yang sekedar jalan-jalan, ada juga yang duduk bersenda gurau di depan warung-warung kopi yang hampir bertebaran di tiap ruas jalan Kaliasin. Wah....jadi haus neh, soalnya kota Singkawang itu juga terkenal dengan kopi "pancung" nya, yang sanggup membuat para tamu duduk ber jam-jam (woww...).


          Lagi asyik mengendarai motor, aku menangkap sebuah objek yang berupa papan nama yang tertancap di pinggir jalan. "Kuil Na-Ca" aku membaca tulisan yang terpampang di papan nama yang sudah usang itu dan cat kuningnya juga sudah agak luntur. "Hm...." Gumamku, aku jadi teringat akan kisah-kisah kepahlawanan dan kesetiaan para tokoh-tokoh legenda tiongkok, dan dewa Na Ca sendiri juga merupakan tokoh dalam legenda Tiongkok. Dalam versi buddhisme/Tao, seingat saya, Na Ca juga di sebut pelindung dharma ( vajra dharma) selain tokoh Wei Duo yang merupakan salah seorang pengawal Miao Shan (dewi Kwan Im ) dalam riwayat hidup sang Dewi Kwan Im.
          "Wah...kelenteng ini berada didalam hutan nih", kataku dalam hati setelah memperhatikan papan nama tersebut. Saking tertariknya, aku langsung memacu motorku masuk melewati jalan kecil menuju ke dalam hutan. Banyaknya pepohonan rindang, besar dan tua tetapi masih kokoh, benar-benar semakin menambah ketertarikanku. Aku melewati jembatan kecil sebanyak 3 kali, di bawahnya mengalir air yang begitu jernih. Di bawah jembatan itu, aku juga melihat pipa-pipa yang di pasang dari atas gunung menuju perumahan penduduk di bawah gunung. Rupanya air gunung ini juga di gunakan untuk mandi selain untuk diminum ( wah...si PDAM aja kalah jernihnya tuh, haha...).

          Sesampainya di kaki gunung, ku hentikan motor butut gue (hehe...), trus aku perhatikan tangga semen yang menanjak ke atas gunung sana. Wah...lumayan panjang juga tangga ini... Kelihatannya tangga ini juga dah lama di bangun, tetapi masih bagus tanpa adanya kerusakan yang berarti. Di sisi kiri di sepanjang tangga ini terdapat pegangan yang terbuat dari batangan besi. Sepertinya ini berguna utk memudahkan para pengunjung untuk berpegangan sampai keatas puncak gunung sana.
        
          Setapak demi setapak, aku menaiki tangga itu. Sampai di tengah jalan, aku perhatikan sekeliling, tampak panorama pegunungan yang indah dan mempesona. Dengan pancaran sinar matahari pagi yang menyelinap diantara dedaunan pohon tua yang tinggi besar dan kokoh, ini semakin menambah keindahan tersendiri dari kawasan hutan yang nampak asri. Di sebelah kiri, tampak sebuah bangunan paviliun yang atapnya berbentuk segi delapan. Di bawahnya terdapat meja dan tempat duduk yang terbuat dari semen. Orang-orang Hakka menyebutnya "Liong-thin/peristirahatan sejenak". Trus di sebelah kanan, juga terdapat bangunan dengan dua pintu/kamar yang di peruntukan sebagai kamar kecil/WC. Tetapi bangunan WC ini sudah tidak terawat lagi, selain letaknya yang berada di semak-semak, pintu dan atap nya juga sudah mulai rusak.
          Aku terus menaiki tangga, dan sampailah aku di puncak gunung ini. "Wahhh...." Menakjubkan !!! Terdapat banyak bangunan kelenteng yang jaraknya berdekatan satu sama lain dan saling terhubung. Di sekitarnya di tumbuhi bunga-bunga kecil yang menyerupai taman kecil, di belakang bangunan kelenteng-kelenteng tersebut merupakan hutan bambu, dari bambu kecil sampai bambu besar. Pikiranku langsung terbawa kepada hutan bambu yang pada umumnya merupakan tempat suci dewi Kwan-Im dan para dewa-dewa lainnya dalam kepercayaan orang Tionghoa. Tiupan angin sepoi-sepoi, seakan-akan membius dan membawaku kedalam suasana yang eksotis.

          "Sore dik....mau sembahyang yah ? " Terdengar suara seorang pria yang perawakannya tinggi dan badannya yang berotot menyapaku. "Iya ko" jawabku. Pria itu mengangguk dan berkata, "Silahkan...". Setelah itu, dia beranjak pergi sambil membawa ember yang berisi air dan menuju ruang dapur yang berada di sebelah kanan dari kuil yang paling besar di antara kuil yang lainnya. Aku pikir, mungkin pria ini adalah seorang manusia dan pengurus kelenteng ini, hehehe....




          Aku menyalakan dupa, dan menyembahyangi tiap-tiap ruang dan altar yang terdapat di kelenteng ini. Diantaranya ada altar dewa Na-ca, altar dewa kebijakan, dewi bulan, dan altar-altar dewa lainnya. setelah menyembahyangi semua altar dewa, aku melihat Pria tadi duduk bersantai pada sebuah bongkahan semen yang menyerupai kursi. aku mendekati dan berbincang dengan pria itu. Dari perbincagan ini, aku mengetahui pria ini bernama A-jin, seorang pengurus kelenteng disini. "Umur kelenteng ini sudah mencapai 100 tahun lebih" kata Ajin. "Dulunya kelenteng ini sangat terkenal. Ada seorang Laoya di sini yang sering mengadakan ritual untuk penyembuhan penyakit, karir dan feng-shui" kata Ajin selanjutnya. Dari perbincangan disini, aku juga mengetahui, rupanya karena sang Laoya yang telah meninggal dunia, maka otomatis tidak ada lagi yang meneruskan ritual-ritual disni. Kebanyakan umat-umat di kelenteng ini banyak yang berasal dari kota Pontianak. Dan walaupun umat-umat ini tinggal di luar kota, tetapi setiap perayaan ulang tahun dewa di kelenteng ini, mereka tetap menyempatkan diri untuk berkunjung dan memberikan sesajian. Aku pikir, mungkin kesetiaan umat-umat ini dipengaruhih oleh faktor kecocokan, jodoh, dan sebagai rasa hormat atas pertolongan dan bantuan yang sudah di berikan oleh dewa di kelenteng ini melalui seorang perantara( laoya ).

          "Dulunya kelenteng ini sudah banyak kerusakan. Atap-atap di ruang altar sudah banyak yang rusak, begitu juga bangunan-bangunan lainnya yang sudah retak. Tapi karena sumbangan dana dari umat dan para dermawan serta bantuan dari penduduk di sekitar sini, bangunan kelenteng ini bisa di rehab dan tetap terjaga sampai sekarang" kata Ajin. " Tangga semen yang berada di kaki gunung itu di kerjakan secara bergotong royong oleh penduduk di sekitar sini. Semuanya berjumlah 168 anak tangga dengan pegangan yang terdapat di sisi kiri yang bertujuan untuk memudahkan orang-orang untuk naik ke atas kelenteng ini" kata Ajin selanjutnya. Kami banyak berbincang seputar aktivitas-aktivitas penduduk di sini dan sejarah-sejarah kelenteng di sini.

          Tidak terasa hari sudah beranjak sore, aku berpamitan dengan ko Ajin. Beliau mengucapkan terima kasih atas kunjungan ini. setapak demi setapak diiringi dengan tiupan angin sore, aku menuruni anak tangga satu persatu. Sampai di pertengahan tangga, tiba-tiba aku di kejutkan selembar daun yang sudah menguning ditiup angin, dan mendarat tepat di keningku......

0 comments: